Friday, February 28, 2014

HIKAYAT 1001 MALAM 2 (SINBAD)

petualangan sinbad sang pelaut 


PESIAR PERTAMA
Sindbad sang pelaut tinggal di Baghdad pada masa pemerintahan Khalif Agung, Harun al-Rashid.
Sindbad adalah orang yang sangat kaya. Dia mempunyai rumah yang besar di bagian terbaik dari kota itu. Dan ketika matahari bersinar sangat terik, dia dan teman-temannya duduk di bawah pepohonan di kebun.
“Aku kaya,” katanya pada teman-temannya, ”tapi aku tidak begitu saja kaya. Aku pernah miskin, kerap sengsara, dan sangat sering takut. Aku sangat takut dalam pesiar pertamaku. Aku akan menceritakannya padamu tentang ini.”
Aku masih muda saat itu. Seperti pemuda pada umumnya, aku hidup dengan penuh kecerobohan, dan besoknya aku tidak punya uang.
“Aku harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan uang,” kataku pada diri sendiri. Jadi aku menjual rumahku dan semua benda yang kumiliki untuk mendapatkan uang 300 dirham. Dengan uang itu, aku membeli banyak pakaian bagus dan benda-benda lainnya. Aku membelinya di Basra. Ada sebuah kapal Arab di sungai sana, dan aku berbincang dengan kapten kapal itu.
“Kami akan berlayar minggu depan,” katanya padaku. “Akan ada 60 pedagang dengan barang-barang mereka di kapal, dan kami akan berlayar ke negeri-negeri dan pulau-pulau di timur jauh. Mereka akan membeli permata dan benda-benda mahal lain di timur, dan mereka akan menjualnya di negeri mereka sendiri ketika kami kembali ke sini.”
“Dapatkah kau membawa satu lagi pedagang?” tanyaku. Dan aku menambahkan, “Aku hanya punya sedikit peti barang. Dan aku akan memberimu sebagian uang yang kudapatkan.”
“Ya, aku dapat membawamu,” kata kapten.
Jadi, pada pekan berikutnya, kami berlayar di sungai besar, Shatt al-Arab, dan melalui Gulf, dan kemudian menuju ke timur.
Kami berlayar selama beberapa hari dan beberapa malam, dan kami berhenti di kota-kota dan pulau-pulau untuk berjual-beli barang.
Suatu hari kami tiba di sebuah pulau yang sangat indah.
“Aku benar-benar tak tahu tentang pulau ini ,” kata kapten. “Tapi ini kelihatannya bagus, dan pulau ini mungkin memiliki air yang bersih.”
Dia membawa kapalnya sangat dekat dengan pulau itu, dan banyak dari kami yang pergi ke pulau itu untuk mencari air dan berjalan-jalan. Mereka membawa gentong air yang besar dari kapal. Aku ingin melihat sisi lain dari pulau itu, dan aku mulai berjalan menjauh dari kapal. Beberapa pedagang lain menemukan kayu, ,dan mereka membuat perapian di pulau yang tidak jauh dari kapal.

PULAU BERGERAK
Kemudian dua hal terjadi bersamaan. Pulau itu bergerak! Dan kapten berteriak:
“Lari! Lari ke kapal! Ini bukan pulau. Ini ikan yang besar. Ikan ini tidur di permukaan air selama beberapa tahun, jadi banyak tumbuhan yang tumbuh di badannya. Tapi api kalian telah membangunkannya. Lari!”
Kami berlari. Tapi aku harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk berlari. Sebelum aku mencapai kapal, ikan itu terjun ke dalam-dalam-dan jauh lebih dalam lagi ke dalam laut.
Pada saat yang sama, sebuah angin yang besar datang. Angin ini membuat kapal menjauh. Pada akhirnya saat aku naik ke atas permukaan laut, aku tak dapat melihat kapal itu.
“Apakah aku pergi hanya untuk mati di sini, sendirian di laut yang sangat besar?” pikirku.

GENTONG AIR
Akan tetapi, Allah sangat baik! Aku melihat sebuah gentong air yang besar di dekatku, dan aku melingkarkan lenganku di sana.
Gentong air menyelamatkanku, tapi sangat sulit untuk tetap bersama gentong itu: ombak besar menerjang kami beberapa kali.
Malam datang. Angin mengendalikanku, dengan gentong air, di sepanjang malam itu, dan pada hari berikutnya dan malam berikutnya. Pada pagi hari, aku melihat sekitarku.
“Inilah hari terakhirku,” pikirku. “Aku kedinginan dan sakit, dan hanya sekadar hidup. Jari-jariku mati rasa, dan lenganku akan mati rasa juga. Aku akan melepaskan gentong air dan tenggelam ke dasar laut untuk selamanya.”

PULAU!
Dan kemudian aku melihat…daratan! Angin membawaku, dengan gentong air, ke daratan itu, dan ombak melemparkanku ke bawah sebuah pohon di sana. Setelah peristiwa itu, aku tidak dapat mengingat segalanya dengan baik. Aku pikir aku tidak dapat bergerak selama 2 hari.
“Aku harus menemukan makanan dan air,” kataku pada diri sendiri. “Aku akan mati jika tidak menemukannya.”
Jadi aku mencoba untuk berdiri… Aku tidak bisa. Aku melihat kakiku, dan aku melihat luka dimana ikan itu menggigitku.
“Kakiku akan membaik sebentar lagi,” pikirku. “Tapi aku harus mencucinya dengan air bersih. Aku harus menemukan air.”
Aku berjalan dengan tanganku di sepanjang tanah, dan pada akhirnya aku menemukan sebuah tempat dimana sebuah pohon buah tumbuh di sebuah sungai kecil. Aku tinggal di sana selama beberapa hari. Aku memakan buah dari pohon itu dan aku minum air dari sungai kecil itu. Kakiku membaik, dan aku sendiri sudah lebih kuat.
Inilah saatnya untuk bergerak. Aku membawa beberapa buah, tapi aku tak dapat membawa air.
“Akan ada sungai lain,” pikirku.
Akan tetapi, tak ada air minum lagi, dan tak ada pohon buah yang lain. Aku berjalan di sepanjang tepi laut, dan aku tak melihat rumah atau orang lain. Tak ada apapun di sana. Setelah berjalan selama 3 hari, aku mulai ketakutan.
“Apakah aku sendiri,” kataku pada diri sendiri, “di sebuah pulau tanpa manusia? Inikah tempat yang tak memiliki binatang liar, burung, dan kehidupan? Akan tetapi, apa itu?”

SEEKOR KUDA!
Itu sangat jauh, tapi itu benar-benar kuda! Aku berjalan menuju kuda itu, dan aku melihat kuda ini sangat cantik.
“Kuda seperti ini,” pikirku, “pasti milik raja atau orang yang sangat kaya.”
Tak lama kemudian seorang lelaki berlari dari sebuah gua. Dia membawa sebuah pedang di tangannya, dan sambil berlari dia berkata, “Siapapun yang menyentuh kuda milik raja harus mati!”
“Jangan bunuh aku,” kataku, “Aku hanya mengamati kuda yang cantik ini. Apa ini milikmu?”
“Siapa kau?” tanyanya. “Dan mengapa kau ada di sini?”
“Aku di sini,” kataku, “karena Allah sungguh baik dan mengirimkan padaku sebuah gentong air untuk menyelamatkanku dari laut.” Dan aku menceritakan padanya kisahku.
Dia memegang tanganku dan membawaku ke gua. Di sana dia menyuruhku duduk, dan dia memberiku makan dan minum.
“Allah sungguh telah berbuat baik padamu,” katanya.
“Selama satu minggu setiap satu tahun, aku dan beberapa pelayan raja yang lain membawakannya kuda terbaik ke pulau ini. Udara sangat baik bagi mereka, tapi pulau itu tak memiliki makanan dan minuman untuk manusia. Tempat ini sangat jauh dari tempat tinggal para penduduk dan kau tak akan pernah menemukan jalanmu tanpa bantuan. Kita pergi besok dan kau dapat bersama dengan kami.”
Kemudian, pelayan-pelayan lain datang, masing-masing dengan sebuah kuda. Mereka mendengar ceritaku dan mereka baik terhadapku.
Pada hari berikutnya aku pergi bersama mereka, menunggangi seekor kuda yang terindah milik raja. Dalam perjalanan mereka menceritakan padaku tentang raja mereka.

RAJA MIHRAJ
“Raja Mihraj,” kata mereka, “adalah raja terbesar di daratan ini. Dia dicintai seluruh orang dan dia baik pada semua orang. Pedagang dari setiap negeri datang ke kota kami yang besar, yang terletak di samping laut.”
Ketika kami tiba di kota, para pelayan memberitahu Raja Mihraj tentang aku. Raja menemuiku dan mendengarkan ceritaku.
“Kau sangat beruntung,” katanya padaku. “Allah sungguh baik!” dan dia memerintahkan pelayan-pelayannya untuk membantuku di setiap waktu.
Raja Mihraj menyukaiku. Dia mengundangku lagi dan lagi, dan dia sangat baik terhadapku. Aku dapat berbicara dengan orang-orang dari banyak negeri, jadi dia memintaku untuk menyambut semua pedagang dan awak kapal yang datang ke kotanya. Kemudian, aku menghadapnya setiap hari untuk memberitahunya barang-barang yang mereka bawa dan memberikannya padanya.
Aku bertanya pada kapten di setiap kapal tentang pesiarnya dan tentang Baghdad.

SEORANG KAPTEN KAPAL
Suatu hari, sebuah kapal besar datang dari timur. Para pedagang membawa barang-barangnya keluar dari kapal dan mulai berjual-beli di kota.
Aku berbincang dengan kapten kapal.
“Apakah ada barang bagus di kapal?” tanyaku.
“Para pedagang ini tak punya barang bagus,” katanya. “Tapi ada beberapa peti. Seorang pedagang muda memulai pesiar bersama kami dan barang-barang di peti itu adalah miliknya. Tapi dia sudah mati. Kami melihat laut membawanya. Aku pergi ke sini untuk menjual barang-barangnya demi emas dan membawa emas itu kembali kepada orang-orang di Baghdad.”
Lalu aku mengenal wajah kapten itu.
“Siapa namanya?” tanyaku, “Siapa nama pedagang itu?”
“Namanya Sindbad.”
Aku hampir jatuh ke tanah. Aku menangis sangat kencang.
“Aku Sindbad”
“Aku Sindbad,” kataku. “Barang-barang itu milikku, dan aku harus berterimakasih padamu karena telah menjaganya untukku.”
“Oh!” teriaknya. “Kami tak percaya. Kau nampak seperti seorang yang berkecukupan, tapi kau mengatakan bahwa kau Sindbad. Kau mengatakannya karena kau menginginkan barang-barangnya. Sindbad sudah mati. Aku melihat laut membawanya, dan para awak kapal dan pedagang di kapalku juga melihatnya mati.”
“Kapten,” kataku, “dengarkan ceritaku dan kau akan percaya padaku.” Dan aku menceritakan padanya kisahku ketika aku bicara padanya di Basra. Aku memberitahunya perbincangan kami, dan aku membuatnya ingat banyak hal yang dia dan aku perbincangkan dan lakukan.
Pada akhirnya dia percaya padaku, dan dia dan para pedagang di kapal sangat senang.
“Kami tak percaya kau masih hidup,” kata mereka. “Allah sungguh baik dan kami sangat senang kau bisa selamat.

HADIAH UNTUK RAJA
Kemudian kapten memberikan semua barangku. Aku mempersembahkan sebuah hadiah yang mahal bagi Raja Mihraj dari hasil penjualan barang-barangku, dan para awak kapal membawanya kepadaku dan meletakkannya di bawah kaki Raja.
“Apa ini?” tanya raja kepadaku. “Kau datang ke sini tanpa apapun dan sekarang kau dapat memberiku hadiah yang sangat mahal. Bagaimana ini dapat terjadi?”
Aku menceritakan padanya tentang kapal yang datang bersama barang-barangku. Dia mengucapkan syukur kepada Allah dan dia memberiku sebuah hadiah yang jauh lebih mahal daripada hadiahku untuknya.

KEMBALI KE BAGHDAD
Ketika kapal telah siap untuk berlayar, aku mengunjungi Raja Mihraj.
“Aku sedih,” kataku padanya, “untuk pergi dari negerimu yang cantik, kebesaran dan rajanya yang baik -dari kau yang sangat baik terhadapku. Tapi aku harus melihat lagi kota kelahiranku, Baghdad.”
“Ya, Sindbad,” katanya. “Kau harus pulang. Kau memiliki teman yang baik, dan kau sudah sangat membantuku. Pergilah dengan segala ucapan terimakasihku.”
Raja Mihraj memberitahu pelayan-pelayannya untuk mengambil hadiah-hadiah yang mahal dari kapal untukku: emas dan permata, pakaian-pakaian yang indah, dan benda-benda lain.
Setelah pesiar yang sangat panjang, kapal tiba di Basra, dan kemudian aku melakukan pesiar ke Baghdad. Teman-temanku sangat senang melihatku, dan aku membeli sebuah rumah yang indah dan tinggal di sana, kaya dan bahagia, untuk beberapa tahun.
Besok, jika Allah berkenan, aku akan menceritakan kepadamu tentang pesiar keduaku.

PESIAR KEDUA
Kupikir aku pulang ke Baghdad untuk hidup di sana selamanya. Aku sangat senang di rumahku yang indah. Aku memiliki teman-teman, pelayan-pelayan dan segala yang dimiliki orang kaya.
Tapi harapan untuk melihat lebih banyak negeri dan kota dan untuk berjual-beli di tempat yang jauh tumbuh lebih kuat dan lebih kuat lagi. Pada akhirnya aku mengisi sangat banyak peti dengan semua barang bagus yang dapat ditemukan setiap orang di Baghdad, dan aku berlayar dengan beberapa pedagang di sebuah kapal baru yang indah.
Kami memiliki pesiar yang bagus, berlayar dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari pulau satu ke pulau lain, menuju ke arah tenggara.
Setelah cukup lama berpesiar, kami tiba di sebuah pulau yang indah. Pulau ini penuh dengan pepohonan yang hijau, buah, bunga, dan sungai dengan air yang bersih. Tapi tak ada manusia di sana- tidak ada di semua tempat.
Beberapa awak kapal pergi mengambil air bersih, dan beberapa pedagang ingin berjalan-jalan di daratan. Aku pergi dengan mereka di pulau itu.
Bunga-bunga sungguh indah. Aku melewati pepohonan untuk melihat beberapa bunga yang sangat besar dan luar biasa indah, dan bau dari bunga-bunga itu membuatku tertidur.


SENDIRIAN
Saat aku bangun, aku sendirian. Tak ada awak kapal dan tak ada satu pun orang yang terlihat.
“Betapa bodohnya aku!” sesalku. “Mengapa aku pergi dari rumahku yang indah di Baghdad? Di sini aku sendiri lagi, sendirian di daratan tanpa manusia!”
Akan tetapi, kemudian pikirku, “Aku berada di tangan Allah. Sangat bodoh apabila aku menangis dan tak melakukan apapun.”
Dengan susah payah aku naik ke puncak sebuah pohon dan aku melihat sekitarku.
Jauh di tengah laut, aku melihat kapal kami berlayar menjauhi pulau. Di pulau itu sendiri aku tak melihat apapun kecuali pohon, pohon, dan pohon. Aku mengamati dan terus mengamati.
Ada satu benda -sebuah benda yang besar- jauh di sana, yang tak berwarna hijau. Warnanya putih dan nampak seperti kubah lingkaran yang besar di atas sebuah rumah.
Aku berjalan menuju ke sana, perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa jam. Pada akhirnya aku tiba di sana pada malam hari. Benda itu terlihat seperti telur yang luar biasa besar.
“Jika itu sebuah kubah,” pikirku, “di mana rumahnya? Di mana pintunya?”
Ketika aku mengamatinya, sesuatu memancarkan cahaya.
“Ini seperti malam hari,” pikirku. Dan aku terus mengamatinya. Apa yang kulihat adalah seekor burung yang luar biasa besar.

ROC
Lalu aku teringat cerita seorang awak kapal tentang seekor burung yang sangat besar bernama roc atau rukh. “Roc sangat besar,” kata awak kapal itu, “mereka memberi makan anak-anaknya dengan gajah.”
“Jadi ini,” pikirku, “adalah telur roc, dan roc datang untuk mengeraminya.”
Burung besar itu duduk di atas telur dan dia tidur di sana.
“Darimana dia datangnya?” aku bertanya pada diriku sendiri. “Dan ke mana dia akan pergi? Dia mungkin pergi ke sebuah tempat yang terdapat manusia, dan akan lebih baik daripada tempat yang tak terdapat manusia seperti di sini.”
Aku mengambil ikat kepala dari kepalaku dan melingkarkannya di tubuhku dan di lengan roc, yang mirip sebatang pohon. Dan kemudian aku menunggu.
Saat pagi datang, roc membawaku ke atas, ke atas langit. Dia tak tahu ada aku di sana, dan dia membawaku jauh, jauh melintasi lautan , pulau-pulau, bukit-bukit, dan lembah-lembah. Pada akhirnya dia mendarat di sebuah lembah besar dengan bukit seperti tembok besar di tiap sisinya.
Roc itu mendarat di atas seekor ular yang sangat besar. Aku sangat takut dan kemudian aku melepaskan ikat kepalaku dari kaki roc, dan berlari untuk bersembunyi di balik sebuah batu besar. Roc itu membawa ular itu ke udara. Dan kemudian aku melihat sekitarku.

LEMBAH BERLIAN
Ada ular-ular besar lain di lembah. Beberapa dari mereka memiliki panjang setara dengan sebuah kapal. Akan tetapi, mereka semua masuk ke sebuah lubang besar di tanah.
“Mereka tidur di lubang ini setiap siang,” pikirku, “dan keluar untuk mencari makan pada malam hari. Jadi di siang hari aku tak perlu takut untuk mencari tempat untuk keluar dari lembah ini.”
Akan tetapi, tidak ada tempat di mana aku dapat mencapai tepi lembah ini. Aku berjalan di sepanjang lembah itu dan aku melihat bahwa lantai lembah itu terbuat dari berlian. Berlian itu sangat bagus, besar dan indah. Akan tetapi, aku tidak menginginkannya; aku ingin keluar dari lembah.
Malam dating dan aku melihat ular-ular besar mulai keluar dari lubang mereka. Beruntung saat itu aku berada di dekat sebuah lubang kecil. Aku berlari ke sana dan pergi ke tepinya. Ada sebuah batu besar di sana, dan aku memindahkannya ke mulut gua.
Batu itu menyelamatkanku. Sepanjang malam aku mendengar suara ular- Sssssss!- di sekitar gua, tapi mereka tak dapat mendekatiku.

PEDAGANG BERLIAN
Pada pagi hari, aku keluar dari gua. “Aku harus menemukan jalan untuk keluar dari lembah ini,” pikirku. Dan aku mulai mencari jalan lagi.
Tiba-tiba ada sesuatu yang berdentam di tanah di dekatku, dan aku melihat potongan daging yang sangat besar di atas berlian. Warnanya merah karena pisau telah menyayatnya. Lalu aku ingat cerita yang kudengar tentang lembah berlian.
Para pedagang tidak dapat turun ke lembah untuk mengambil berlian. Maka dari itu, mereka memotong seekor binatang buas dan melemparkan mereka ke bawah. Daging jatuh ke atas berlian. Matahari membuat daging lengket, dan beberapa berlian -tapi bukan yang terbesar-menempel pula padanya. Mereka punya beberapa burung besar di negeri mereka. Burung itu akan datang, mengambil potongan daging dan terbang menuju anak-anak mereka di bukit. Para pedagang membuat keributan dan burung-burung akan pergi. Lalu pedagang mengambil berlian yang telah menempel pada daging.
“Seekor burung membawaku ke sini,” kataku pada diri sendiri, “jadi burung pula yang akan membawaku pergi dari sini.”
Aku punya tas tempatku membawa makanan dan aku mengisinya dengan berlian yang terbaik dan terbesar. Lalu aku melepas ikat kepalaku lagi dan melingkarkannya di pinggangku dan di potongan terbesar dari daging itu. Aku menunggu mereka, dengan daging berada di atasku.

SELAMAT
Setelah cukup lama menunggu, seekor burung besar mendarat. Dia mengambil potongan daging dan terbang keluar dari lembah- tentu saja aku juga ikut terbang bersamanya.
Di atas sebuah bukit yang berada di samping lembah, anak-anak burung itu telah menunggu. Akan tetapi, ada pula pedagang yang telah menanti di sana. Mereka membuat keributan dan burung itu pergi. Lalu para pedagang datang untuk mengambil berlian. Aku berdiri -merah karena darah dari daging dan sakit setelah dua perjalananku melalui udara.
Para pedagang takut ketika melihatku, tapi aku meminta mereka untuk tidak takut.
“Aku manusia,” kataku, “seperti kalian. Tapi burung yang membawa dagingmu membawaku keluar dari lembah berlian. Tidak ada berlian di dagingmu, tapi aku telah membawa berlian cukup banyak. Semua berlian ini jauh lebih baik daripada semua berlian yang dapat dibawa dagingmu, dan aku akan dengan senang hati memberimu beberapa berlianku.”
Setelah itu, mereka datang padaku dan berbincang akrab denganku.
“Kau sangat beruntung,” kata mereka. “Tak pernah ada satu pun orang yang dapat keluar dari lembah itu.”
“Syukur kepada Allah,” jawabku.

PULANG
Para pedagang membantuku menjual beberapa berlianku dan menemukan kapal yang dapat membawaku kembali ke negeriku.
Pada akhirnya aku kembali ke Baghdad, sebagai orang yang sangat kaya, dengan berlian yang terbesar dan benda-benda lain yang indah.
“Sekarang aku akan tinggal di rumahku,” perintahku pada diri sendiri, “di rumahku yang indah, dengan semua kekayaanku. Aku akan bersenang-senang dengan teman-temanku dan aku tak akan pernah lagi pergi ke laut.”
Akan tetapi aku pergi ke laut lagi. Besok, jika Allah berkenan, aku akan menceritakan pada kalian tentang pesiarku yang ketiga.

PESIAR KETIGA
Betapa bodohnya aku! Tak lama sesudahnya, aku memiliki keinginan untuk melihat negeri-negeri yang lain dan berjual-beli barang-barang di sana.
Dengan segera aku berlayar dari Basra dengan pedagang-pedagang yang lain di sebuah kapal yang sangat bagus. Kami pergi dari satu negeri ke negeri yang lain dan dari pulau ke pulau, dan kami melakukannya dengan lancar di setiap tempat. Kami kemudian kaya dan sangat senang dengan pesiar kami.
Kemudian suatu hari sebuah badai yang kuat mulai membawa kami ke suatu tempat yang tak ingin kami kunjungi. Selama empat hari kami diombang-ambingkan angin yang kencang dan pada akhirnya kami menyadari diri kami telah berada di tepi sebuah pulau.
Kapten berbicara pada kami. Kami dapat melihat dari wajahnya bahwa dia sangat ketakutan.
“Kita tidak dapat berlayar dengan angin sebesar ini,” katanya. “Tapi aku tahu tentang pulau ini. Penduduk di sini sangat kecil dan mereka seperti monyet. Mereka mendatangi kapal dalam jumlah ribuan. Jika seseorang mencoba menghentikan mereka, mereka akan melawan dan membunuhnya. Tolong, tolong jangan melawan mereka.”

MANUSIA MONYET
Saat dia berhenti berbicara, manusia monyet datang. Mereka sangat banyak, ribuan jumlahnya, dan kami tidak dapat melakukan apapun untuk menghentikan mereka. Mereka kemudian telah berada di seluruh bagian kapal. Mereka membuat semua awak kapal dan pedagang masuk ke pulau, dan kemudian mereka memindahkan kapal kami ke bagian lain dari pulau itu.
“Ada banyak manusia monyet lain di pulau ini,” pikir kami. “Apa yang dapat kita lakukan? Ke mana kami akan pergi?”
Dari atas sebuah pohon, seorang awak kapal melihat sebuah rumah batu yang besar. “Apakah kita akan pergi ke sana untuk menyembunyikan diri dari manusia-manusia monyet?” katanya.
Rumah itu memiliki ruangan yang besar dan kami semua masuk ke dalamnya melalui pintu yang besar. Kami menunggu di sana ketika kami mendengar langkah kaki raksasa mendekati kami.

MAKANAN UNTUK RAKSASA
Dia datang ke ruangan tempat kami berada dan menutup pintu, jadi kami tak dapat keluar. Dia luar biasa besar- seperti manusia tapi sebesar pohon raksasa, dengan mata seperti api dan gigi seperti batu putih besar di mulut gua. Dia mengambil kayu dari kotak kayu bakar yang besar di ruangan itu dan membuat perapian yang sangat besar. Kemudian dia melihat kami.
Dia menempatkanku di atas tangannya, tapi dia mengerti bahwa aku bukan orang yang gemuk. Beruntung, di bawah pakaian mahalku, aku sungguh tidak lebih gemuk daripada jarinya. Jadi dia melemparkanku ke bawah dan mengambil orang lain. Dia terus mengambil satu demi satu orang hingga dia menemukan yang tergemuk.
Dia memasak orang itu di atas apinya! Kemudian dia memakannya! Kemudian dia duduk di dekat api dan tidur.
Pada hari berikutnya, dia keluar dari ruangan, tapi dia menutup pintu besar, dan kami tidak dapat keluar.
Pada malam hari, raksasa itu datang lagi. Lagi-lagi dia mengambil satu demi satu orang, dan pada akhirnya dia menemukan orang yang kuat- kapten kapal. Dia memasaknya, memakannya, dan akhirnya tidur.

KAMI MELOLOSKAN DIRI DARI RAKSASA
Pada pagi hari, raksasa keluar dan menutup pintu lagi.
“Kita harus melakukan sesuatu,” kataku, “atau dia akan memakan kita semua, setiap hari satu orang. Dia terlalu besar untuk kita bunuh ketika dia terjaga.” Dan aku memaparkan gagasanku pada mereka.
Malam itu raksasa datang lagi ke ruangan. Dia mengambil seseorang, memasak dan memakannya, dan kemudian tidur.
Kemudian kami mulai bekerja dengan cepat. Dua orang meletakkan potongan besi panjang ke dalam api dan membuat besi itu merah menyala. Dua orang lain bekerja dengan kayu yang berapi untuk membakar jalan masuk melalui pintu. Sementara itu, yang lainnya menggunakan kayu dari kotak kayu bakar milik raksasa untuk membuat tubuh perahu.
Ketika semuanya telah siap, aku berteriak, “Sekarang!” Kami mengarahkan besi yang merah menyala ke mata raksasa dan kemudian kami semua berlari, dengan perahu yang telah kami buat, keluar dari ruangan dan turun ke laut. Raksasa itu mengerang kesakitan!
Kami membuat perahu kami dan kami baru saja mengendarai mereka keluar dari laut ketika raksasa itu turun ke air bersama dua temannya.
Ketika mereka melihat kami, mereka mengambil batu yang sangat besar dan melemparkannya ke arah kami. Tiap batu itu sebesar rumah. Beberapa batu itu jatuh ke dalam laut, tapi beberapa menghantam perahu kami dan membunuh orang-orang di dalamnya.
Satu perahu- perahu yang kunaiki- tidak kena. Kami bekerja keras untuk mengeluarkannya dari laut, tapi kemudian sebuah angin kencang datang dan mengendalikan kami, hari demi hari, melalui laut yang mengamuk, sebelum kami terdampar di sebuah pulau.

SEEKOR ULAR BESAR
Hanya tiga orang di antara kami yang masih hidup. Kami tidak punya makanan atau minuman untuk waktu yang lama, tapi kami masih hidup. Kami menemukan pohon buah dan sebuah sungai kecil, dan kami makan, minum, dan bersyukur. Kemudian, karena pesiar kami di perahu sangat buruk, kami tertidur di tanah.
Kami dibangunkan dengan sebuah keributan – Sssssss!
Sebuah ular yang luar biasa besar membentuk dirinya menjadi sebuah cincin yang mengelilingi dan menangkap kami!
Tak lama kemudian, ular itu mengambil seorang temanku dan memakannya. Dia tidak menggigitnya, tapi kami melihatnya masuk ke dalam ular itu. Untuk beberapa waktu kami mendengar jeritannya. Kemudian teriakannya berhenti, dan kami tahu bahwa dia sudah mati.
Ular besar itu tinggal di sana sepanjang malam, dan kami takut untuk bergerak atau berbicara. Tapi pada akhirnya dia pergi, dan kami berkata, “Apa yang dapat kita lakukan? Dia akan kembali malam ini, dan dia akan memakan salah satu dari kita.”
Kami makan buah dan minum air, dan kami mencari gua. Tapi tak ada tempat yang bagus, dan sebelum malam tiba kami naik ke atas pohon untuk tidur di sana. Aku lebih kuat dari temanku, dan aku lebih dekat dari pucuk pohon ketimbang dia.
Malam makin larut, ular besar kembali, mencari kami. Dia menemukan pohon kami dan mendatangi kami. Temanku diambil- Aku mendengar teriakan terakhirnya dari dalam perut ular- dan aku sendiri.

APA YANG HARUS KULAKUKAN?
Pada pagi hari, ular itu pergi. “Apa yang harus kulakukan?” tanyaku pada diri sendiri. “Dia akan datang lagi malam ini dan mengambilku. Apakah aku harus terjun ke dalam laut?”
Aku memakan buah dari pepohonan, dan aku berpikir.. dan aku berpikir… Aku berjalan di sepanjang laut. Beruntung tak ada satupun manusia monyet di pulau itu. Tapi aku melihat banyak potongan kayu dan tali dari kapal-kapal yang mereka ambil.
Aku mengambil beberapa potongan kayu yang panjang dan aku meletakkan mereka menyimpang kakiku, di atas kepalaku, menyimpang tubuhku dan di sepanjang sisiku, dengan potongan tali untuk mencegah kayu-kayu itu bergerak. Kemudian aku berbaring di tanah dan menunggu.
Malam datang, dan aku mendengar ular itu. Mulutnya yang besar mendekati kepalaku, sampingku, kakiku, dan bagian-bagian lain. Kayu itu menghentikan ular itu. Ular itu mencoba lagi dan lagi, tapi dia tidak dapat menangkapku ke dalam mulut besarnya.
Akhirnya dia pergi, dan aku bersyukur pada Allah. Aku diselamatkan lagi.
Keesokan harinya aku membuat sebuah perahu dari bagian-bagian kapal dan potongan-potongan kayu dan tali. Aku meletakkan buah dan air ke dalamnya, dan aku masuk ke laut, keluar dari pulau yang tidak menyenangkan.

SEBUAH KAPAL!
Aku tak ingin mengingat hari-hari di perahu yang terbuka. Aku terbakar matahari dan terlempar oleh gelombang. Tapi pada akhirnya aku melihat kapal nan jauh di sana, dan beruntung para awak kapal melihatku. Mereka datang dan mengambilku, dan mereka sangat baik kepadaku.
Kapten dan beberapa pedagang yang ada di sana mendengar ceritaku. “Kami akan mengantarmu ke Basra,” kata kapten kapal, “tapi kami harus singgah ke beberapa tempat dulu. Para pedagang harus menjual barang-barang mereka dan membeli barang-barang lain, dan kami harus mencari angin yang bagus untuk membawa kami kembali ke Basra.”
Pada perhentian selanjutnya, barang-barang para pedagang dibawa. “Bawa barang-barang Sindbad,” kata kapten kepada para awak kapalnya. “Kita akan menjual barang-barangnya dan membawa uangnya ke orang-orangnya yang kurang beruntung di Baghdad.”
“Barang-barang Sindbad?” tanyaku. “Apakah ada tanda seperti ini di barang-barang itu?” Dan aku membuat tanda yang selalu kububuhkan di barang-barang dan peti-petiku.
“Ya,” katanya. “Tapi bagaimana kau tahu hal itu?” Barang-barangnya selalu ada di bagian bawah barang-barang yang lain di dalam kapal untuk waktu yang sangat lama. Orang yang memilikinya sudah mati di Pulau Roc dulu kala.”
“Dia tidak mati,” kataku. Dan aku menceritakan padanya apa yang terjadi di pesiar keduaku.
Sangat sulit bagi kapten untuk mempercayaiku, tapi pada akhirnya dia percaya ceritaku. Aku menjual barang-barangku dan membeli barang-barang lain untuk dijual di Baghdad. Jadi setelah pesiarku yang ketiga aku adalah orang yang sangat kaya, dan aku ingin hidup bahagia di Baghdad.
“Tak akan ada pesiar keempat bagiku,” pikirku.

Tapi ada pesiar keempat, dan besok, jika ini adalah kehendak Tuhan, aku akan menceritakan padamu tentang pesiarku itu.

PESIAR KEEMPAT
Suatu hari beberapa pedagang datang ke rumahku. Mereka berbincang tentang masa lalu, pesiar yang telah kami lakukan dan tempat-tempat yang telah kami lihat. Kami mengingat saat-saat baik dan bukan saat-saat buruk.
Keesokan harinya kami berpikir bahwa sebuah pesiar ke timur akan sangat bagus bagi kami.
Aku mempersiapkan beberapa barang dan kami berlayar ke tenggara menuju daratan kaya yang kami ketahui. Dan kami melakukan perjalanan dari pulau satu ke pulau yang lain dan dari laut yang satu ke laut yang lain, berjual-beli, dan melihat negeri yang satu setelah negeri yang lain.
Kami jauh dari tanah air kami ketika suatu malam sebuah angin yang kencang menerjang kapal kami, dan gelombang besar menenggelamkan kami ke dalam laut.
“Ini saat-saat terakhirku,” pikirku, ketika kapal itu surut ke bawah. Akan tetapi beberapa potongan kayu dari kapal berada di dekatku, dan aku melingkarkan tanganku di sana. Aku membantu beberapa pedagang dan awak kapal yang lain untuk mendapat bagian kayu dari kapal juga.

MASIH HIDUP
Di hari-hari selanjutnya, angin dan laut mengendalikan kami, tapi pada akhirnya kami terdampar di sebuah pulau, masih hidup.
Malam itu kami tinggal di tempat yang sama -yang penting keluar dari laut- karena kami tidak dapat bergerak. Kami di sana saat matahari terbit dan beberapa orang menemukan kami. Aku menyebut mereka manusia, tapi mereka lebih mirip binatang buas, dengan wajah dan tubuh yang buruk.
Mereka membawa kami -memukul dan menendang kami- kepada raja mereka. Dia berbicara pada mereka, dan mereka menyuruh kami duduk. Kemudian mereka memberi kami makanan. Kami belum pernah melihat makanan seperti itu, tapi para pedagang dan awak kapal lain memakan beberapa diantaranya. Aku tak dapat memakannya. Melihat makanan itu saja sudah membuatku sakit.
Betapa beruntungnya aku! Makanan itu mengubah yang lain. Mereka mulai makan dengan rakus, sangat cepat dan dengan dua tangan. Kemudian aku ingat bahwa aku pernah mendengar tentang manusia buas itu. Ketika mereka menangkap manusia dari negeri lain, mereka memberi ‘tamu’ mereka makan. Ini akan membuat mereka tak melakukan apapun kecuali makan, jadi mereka makan dan makan, dan membuat mereka luar biasa gemuk. Saat mereka sudah gemuk, manusia buas dan rajanya akan memakannya.
“Berhenti!” rengekku pada orang-orang dari kapal kami. Tapi aku tak dapat menolong mereka. Mereka tak dapat memikirkan apapun kecuali makanan.

AKU PERGI
Hari demi hari teman-temanku makin gemuk. Manusia-manusia buas menunggu di dekat mereka dan membuat mereka makan. Manusia-manusia buas ini melihatku makin sakit karena aku tak makan apapun. Akan tetapi mereka tidak melakukan apapun padaku karena mereka sudah punya banyak orang gemuk untuk dimakan.
“Aku tak dapat menyelamatkan teman-temanku,” pikirku, “tapi aku harus menyelamatkan diriku sendiri. Jika aku tinggal di sini dan tidak makan apapun, aku akan mati.”
Teman-temanku tak pernah dapat jauh dari manusia buas dan mereka memang tak ingin pergi jauh karena manusia buas itu memberi mereka makan. Akan tetapi tak pernah ada yang mengamati orang yang tidak gemuk. Jadi suatu hari aku bersembunyi di bawah sebuah pohon dan kemudian bergerak menjauhi hutan.
Setelah sekian waktu aku menemukan beberapa buah yang kukenal, dan aku tidak takut untuk memakan buah itu. Makanan itu membuatku sedikit lebih kuat, dan aku berjalan lebih cepat.
Selama tujuh hari aku berjalan, makan buah, dan berjalan lagi. Pada akhirnya aku melihat orang-orang seperti aku. Mereka takut padaku, dan mereka mendatangiku dengan pedang di tangan mereka. Tapi aku mengatakan pada mereka : “Demi nama Allah, dengarkan aku!”
Aku menceritakan pada mereka siapa aku dan darimana aku datang. Dan mereka menceritakan padaku bahwa mereka datang setiap tahun dari negeri mereka ke pulau itu, tetapi mereka selalu takut pada manusia-manusia buas.
“Tak ada orang lain yang dapat pergi dari mereka,” kata mereka.

SEBUAH PELANA UNTUK RAJA
Saat kembali ke pulau mereka, teman-teman baruku itu mengajakku. Raja mereka mendengar segalanya tentangku dan ingin mengobrol denganku. Dia sangat baik dan memberiku sebuah ruang di rumahnya yang megah. Dia mengundangku tiap hari dan menanyakan padaku tentang pesiar-pesiarku dan tentang kota Baghdad.
Kotanya sendiri kaya di segala bidang. Akan tetapi aku melihat sesuatu yang tidak terlalu bagus. Raja dan semua bawahannya menaiki kuda. Kuda Mereka sangat bagus, dan orang-orang juga menungganginya dengan bagus. Akan tetapi, mereka tidak memiliki pelana.
Suatu hari aku bertanya pada raja, “Baginda Raja, mengapa Baginda tidak memakai pelana saat menunggang kuda Baginda?”
“Pelana?” tanyanya. “Apa itu?”
“Bolehkah hamba membuat sebuah pelana untuk Baginda?” tanyaku. “Kemudian Baginda akan tahu jawaban dari pertanyaan Baginda, dan Baginda akan mengetahui bahwa pelana sangat banyak membantu orang-orang saat di atas kuda.”
Aku membuat sebuah pelana yang sangat bagus bagi raja dan aku meletakkannya di kudanya. Dia mencobanya dan sangat menyukainya. Setelah itu, semua orang besar di negeri itu menginginkan pelana, dan aku membuat pelana untuk mereka. Dengan cara itu aku menjadi sangat kaya, dan aku sangat senang menjadi teman raja dan para pembesar di sana.

MENIKAH
Suatu hari raja berbicara padaku.
“Kau telah menjadi bagian kami,” katanya, “dan kami mencintaimu seperti saudara. Hanya ada satu jalan yang akan membuatmu lebih dekat dengan kami.”
“Katakan pada hamba, Baginda,” jawabku. “Sahaya hamba Baginda . Kata-kata Baginda adalah hukum bagi hamba jika ini memang kehendak Allah.”
“Kau harus menikah. Ada seorang wanita yang sangat cantik dan kaya, saudari dari salah seorang temanku. Kau akan menikahinya.”
Tak lama kemudian aku menikah. Seperti yang dikatakan raja, istriku adalah seorng wanita yang kaya dan cantik. Akan tetapi dia lebih daripada itu semua: dia satu-satunya yang kucintai, dan dia mencintaiku, dan kami sangat bahagia selama beberapa minggu.
Suatu hari, istri seorang teman baruku meninggal. Aku berkunjung ke rumahnya, sebagaimana biasanya orang lakukan saat ada temannya yang berduka. Tapi dia lebih daripada sedih: dia sakit parah.
“Ini bukan kehendak Allah,” kataku padanya, “seorang lelaki menjadi sangat sedih saat istrinya meninggal. Kau harus siap hidup tanpanya, dan…”

GUA KEMATIAN
“Apa?” tangisnya. “Apa kau tak tahu tradisi kami? Sudah menjadi tradisi di negeri ini bahwa orang yang hidup harus bersama yang mati- istrinya yang hidup dengan suaminya yang mati, dan suami yang hidup dengan istrinya yang mati. Pagi ini mereka akan melemparkan tubuh istriku ke dalam gua kematian, dan mereka akan menjatuhkanku ke sana untuk mati bersamanya.”
“Ini tradisi yang sangat buruk!” kataku.
Akan tetapi itulah yang terjadi. Pagi itu, orang-orang membawa tubuh istrinya keluar dari kota. Mereka memindahkan sebuah batu yang sangat besar dari sebuah lubang di tepi bukit dan melemparkan tubuh itu ke dalam Gua Kematian. Setelah itu, mereka mengalungkan tali di tubuh temanku dan menjatuhkannya ke dalam gua. Mereka meletakkan batu yang besar di belakang lubang, dan para penjaga menunggu di sana untuk menghentikan orang yang mencoba mendekatinya. Aku berbicara pada raja tentang hal ini.
“Ini tradisi negeri ini,” katanya. “Ini tradisi yang sangat lama, bahkan aku pun tak dapat mengubahnya.”

DI DALAM GUA
Beberapa waktu kemudian, istriku yang tersayang sakit dan akhirnya meninggal! Orang-orang membawa tubuhnya ke dalam Gua Kematian.
“Kau tak dapat membawaku,” kataku. “Aku bukan orang dari negeri ini, jadi tradisimu tak berlaku bagiku.”
“Jangan takut,” kata mereka. “Kau salah satu dari kami.” Mereka mengalungkan tali ke tubuhku dan menjatuhkanku ke dalam tempat beratapkan batu besar itu.
Aku dimasukkan ke dalam gua, batu besar diletakkan di depan lubang, dan aku tak dapat melihat apapun. Aku meratap kepada Allah supaya menyelamatkanku.
Setelah beberapa lama, aku menemukan bahwa ada sedikit cahaya di dalam gua. Dan aku melihat bahwa orang-orang selalu meletakkan orang yang meninggal ke dalam gua bersama dengan semua perhiasannya. Jadi ada perhiasan dimana-mana di dalam gua.
Di gua itu juga ada tali. Saat orang yang hidup dimasukkan ke dalam gua, tali yang dilingkarkan di tubuh mereka juga turut jatuh ke bawah.
Kemudian aku mendengar sesuatu bergerak. Aku pikir itu adalah seekor rubah, atau binatang liar seperti rubah. Aku mencoba untuk menangkapnya, tapi binatang itu menggigitku dan berlari.
“Jika ada binatang liar di sini,” pikirku, “ada lubang lain yang mereka lalui untuk datang ke sini. Aku harus membuat salah satu dari mereka menuntunku ke sana.

LUBANG RUBAH
Aku mencoba untuk menangkap salah satu dari mereka dengan tali. Dan aku mencobanya lagi dan lagi, hingga ribuan kali.
Pada akhirnya lemparan taliku mengenai salah satu dari mereka. Binatang liar itu menuntunku menuju sebuah akhir dari gua itu, sebuah tempat yang sangat jauh dari tempatku semula. Di sana aku menemukan sebuah lubang rubah. Seekor rubah dapat melewatinya, tapi aku tidak. Maka dari itu aku berjuang dengan sekuat tenaga untuk membuatnya lebih besar. Aku bekerja tiap hari untuk waktu yang lama, dan pada akhirnya aku dapat keluar dan merasakan udara yang segar di bawah langit yang biru.
Aku melihat bahwa aku berada di dekat laut, di bawah sebuah bukit yang besar. Aku tahu tentang tempat ini, tapi aku belum pernah ke sini. Tepi bukit ini seperti sebuah dinding, dan tak ada seorang pun dari kota yang dapat naik ke sana ataupun turun dari sana.
Aku menemukan air di sebuah sungai kecil, dan buah dari pepohonan, dan aku makan dan minum. Kemudian aku duduk dan berpikir.
“Aku harus menunggu kapal mendekat,” pikirku, “sebuah kapal yang tidak menuju ke kota. Aku dapat menunggu lama, karena ada makanan dan minuman di sini. Apakah aku sebaiknya kembali ke Gua Kematian untuk mengambil beberapa perhiasan? Jika aku kembali, apakah aku akan dapat menemukan jalan ke luar lagi?”

PERHIASAN DAN SEBUAH KAPAL
Aku ingat tali.
“Jika aku membuat sebuah tali yang panjang dari tali-tali yang lebih pendek, ini dapat membimbingku ke dalam dan ke luar gua,” pikirku.
Dengan segera aku membuat tali yang panjang, dan aku kembali ke dalam gua beberapa kali dan membawa ribuan perhiasan. Aku meletakkannya di tas yang kubuat dari pakaian yang melilit di tubuh mayat. Dan kemudian aku menunggu kapal.
Pada akhirnya sebuah kapal datang untuk mengambil air dari sungai. Aku menceritakan sebagian ceritaku kepada kapten kapal, tidak semuanya, karena aku takut orang-orang dari kota mendengar ini. Aku ingin memberi beberapa perhiasan kepada kapten, tapi dia berkata, “Kami orang-orang Basra. Ketika kami menemukan seseorang yang tersesat di pulau lain karena angin, kami membawanya ke kapal kami dan memberinya makanan, minuman, dan pakaian, dan kami membantunya kembali ke negerinya. Kami tidak pernah meminta uang atau benda lain darinya, karena kami membantunya atas nama Cinta Allah.”

AKHIR DARI PESIAR KEEMPAT
Pada waktu itu, pesiar kapal menuju akhir di Basra, dan aku pergi dari sana menuju Baghdad.
Teman-temanku senang saat melihatku, dan aku memberikan uang, makanan, dan pakaian untuk orang-orang miskin, dan membantu siapapun yang butuh bantuan.
Dan aku berkata, “Tak lagi-lagi! Itu pesiar terakhirku!”
Akan tetapi, ini ternyata bukan akhir pesiarku, dan kau akan mendengarnya besok, jika Allah berkenan.

PESIAR KELIMA
Pada waktu itu, aku hanya ingat saat-saat baik dari pesiarku. Aku tidak mengingat saat-saat buruknya.
Suatu hari aku melihat orang-orang membuat sebuah kapal yang indah. Aku membeli kapal itu, dan aku berlayar dengan beberapa pedagang lain, dan di pesiarku yang kelima aku memakai kapalku sendiri.
Kami berlayar dari kota ke kota, dari pulau satu ke pulau lain, dan dari laut yang satu ke laut yang lain, berjual-beli dan melihat banyak tempat baru.
Suatu hari kami singgah di sebuah pulau yang sangat besar di mana tak ada orang, pohon, maupun sungai. Para pedagang yang lain pergi ke daratan untuk berjalan-jalan. Mereka berhenti di sebuah benda putih yang sangat besar seperti kubah.
“Jangan menyentuhnya!” teriakku. “Ini adalah telur burung Roc. Pergi! Cepat!” Akan tetapi, mereka tidak mendengarku, atau tepatnya mereka tidak mempercayaiku. Mereka mengambil sebuah batu besar dan membuat lubang di sebuah sisi telur itu. Ada sebuah keributan seperti sebuah tangisan dari dalam telur itu: burung roc muda mati.
Tangisan itu dijawab dari jauh di atas sana, dan hari itu berubah menjadi gelap ketika dua burung roc yang besar, ayah dan ibu roc muda, terbang di atas kami.

KAPALKU HILANG
“Mereka akan membunuh kita semua,” pikirku. Akan tetapi, dua burung besar itu terbang menjauhi kami.
“Cepat!” panggilku. “Kita harus berlayar pergi dari sini. Lari!” Para pedagang berlari ke kapal, dan kapten serta orang-orangnya membawa kami ke laut lagi. “Apakah kita bisa pergi dari sini?” tanyaku pada diri sendiri.
Tidak! Kami melihat burung roc yang sangat besar tadi terbang kembali mendekati kami. Mereka masing-masing membawa sebuah batu sebesar sebuah rumah.
Burung yang pertama terbang ke atas kami, dan batu yang besar dijatuhkan. Kapten menyelamatkan kami dari batu itu: dia menggerakkan kapal ke sisi lain, dan batu itu jatuh ke dalam laut. Laut itu bergolak dan membentuk sebuah bukit dari air, dan kapal itu terlempar jauh dan kapten tak dapat menyelamatkan kami dari batu selanjutnya. Batu itu menenggelamkan kami, dan itulah akhir dari kapalku yang indah.
Batu itu membunuh sebagian besar pedagang dan awak kapal, tapi aku masih hidup, di atas laut dan aku menemukan beberapa kayu dari badan kapal yang hancur di dekatku. Kayu itu menyelamatkanku, dan angin serta laut membawaku, setelah empat hari empat malam, ke sebuah pulau. Aku melihat -dan aku bersyukur kepada Allah- sebuah sungai dengan air yang jernih dan pepohonan dengan buahnya.
Aku makan dan minum. Kemudian aku mulai mencari orang lain.

ORANG TUA DARI LAUT
Ketika aku baru saja masuk ke dalam pulau itu, aku melihat seorang yang sangat tua. Dia kelihatan tua dan lemah, dan tak nampak kuat biar dilihat dari mana pun.
“Apakah dia seorang pelaut tua yang dulu terdampar ke pulau ini?” tanyaku pada diri sendiri. Dia duduk di tepi sebuah sungai kecil.
Aku berbicara padanya, tapi dia tak menjawab. Aku menyapanya lagi, dan lagi-lagi dia tak menjawab apapun. Akan tetapi, dia menggerakkan tangannya ke sungai kecil.
“Dia ingin aku membawanya ke sungai,” pikirku. Maka dari itu aku mengangkatnya ke punggungku menuju ke sungai.
Kemudian, kemudian dia bergerak sangat cepat! Dia melingkarkan betisnya di leherku. Betisnya tidak gemuk, tapi sangat keras dan kuat. Saat aku mencoba melepaskannya, dia menendangku. Kemudian dia meletakkan leherku di tangan dan betisnya. Dia sangat kuat, hingga membuatku hampir mati.
Keadaan seperti itu berlangsung terus setiap hari. Pada malam hari aku dapat tidur di tanah, tapi betisnya selalu melingkar di leherku. Pada siang hari aku hanya dapat makan dan minum saat dia menginginkannya. Dia selalu di sana. Dia tidak pernah bicara, tapi dia menendangku untuk menunjukkan apa yang dia inginkan untuk kulakukan.
Suatu hari aku menemukan buah yang sangat enak saat diminum airnya ketika buah itu sudah matang. Aku meminumnya sedikit dan berteriak, “Oh, enak sekali! Sangat enak! Ah! Aku harus meminumnya semua!”

SELAMAT LAGI
Lelaki tua itu menendangku lagi, dan aku tahu bahwa dia ingin minum. Aku memberikan buah itu padanya, dan dia meminumnya. Dia menyukainya, dan dia minum lagi dan lagi. Betisnya jatuh dari leherku, dan dengan cepat aku melemparnya ke tanah. Kemudian aku mengambil batu yang besar dan memukul kepalanya dengan itu.
Setelah itu, aku turun ke laut. Ada sebuah kapal di sana, dan beberapa awak kapal datang ke daratan itu. Aku menceritakan pada mereka tentang orang tua itu dan mereka berkata, “Allah sungguh baik kepadamu! Dia adalah Sheikh al-Bahr, Lelaki Tua dari Laut. Tak ada seorang pun yang telah dijepit dengan betisnya dapat tetap hidup. Dia sudah membunuh banyak pelaut dengan cara seperti itu. Kami tidak pernah datang ke daratan ini sendirian, tapi selalu bersama Sembilan atau sepuluh pelaut lain, karena kami takut pada Lelaki Tua dari Laut itu.”
“Mengapa kalian datang ke sini?” tanyaku.

MONYET DAN KELAPA
“Kami datang untuk kelapa,” kata mereka, “Ikutlah dengan kami dan kau akan melihatnya. Kau harus punya beberapa tas besar seperti ini untuk kelapa dan tas kecil yang penuh dengan batu seperti ini.”
Aku mengambil tas kecil, penuh dengan batu, dan tas yang besar, dan mereka membimbingku ke sebuah tempat yang terdapat banyak pohon kelapa. Pepohonan ini menjulang tinggi dari tanah dan rapat, tanpa ada tempat untuk meletakkan tangan atau kakimu. Semua kelapa itu berada di puncak. Akan tetapi, ada banyak monyet di puncak sana.
Kami melempar batu dari tas kecil kami ke arah monyet-monyet itu. Monyet-monyet itu sangat marah dan mereka melemparkan kelapa-kelapa itu ke arah kami.
Dengan segera kami memiliki banyak kelapa. Kami mengupas bagian luarnya dan meletakkan dagingnya ke dalam tas besar kami. Ketika kapal telah penuh dengan kelapa, kami berlayar ke Comorin dan pulau-pulau di dekatnya. Di sana mereka membayar kami untuk kelapa-kelapa itu, dan kami membeli kayu dan barang-barang lain untuk dibawa ke Basra.
Begitulah, setelah kami berjual-beli, aku pulang ke negeriku dan lebih kaya daripada saat aku pergi. Aku memberikan sepersepuluh kekayaanku kepada orang-orang miskin, dan kataku pada diri sendiri: “Tak pernah lagi! Tak akan ada pesiar lagi.”
Akan tetapi ada pesiar lain, yang akan kau dengar besok, jika Allah berkenan.

PESIAR KEENAM
Aku tidak ingin pergi ke laut lagi. Akan tetapi ada bagian lain di India yang ingin kulihat. Maka dari itu aku membawa barang-barang dan pelayan-pelayanku dan pergi melalui kota-kota besar dari daratan-daratan itu, berjual-beli, dan melihat beberapa negeri beserta penduduknya.
Pada akhirnya aku tiba di akhir jalan di dekat mulut sungai besar Gangga. Di sana aku menemukan sebuah kapal yang telah berlayar jauh ke tenggara.
Ini adalah pesiar yang sangat panjang, tapi bukan pesiar yang menyenangkan. Angin membawa kami keluar lintasan, dan kemudian gelombang menghantam kami dan membawa kami sangat jauh dari tujuan kami sebelumnya.
“Oh!” teriak kapten kapal. “Kita semua akan mati!” Dia melemparkan ikat kepalanya dan memukul kepalanya dengan tangannya. “Inilah akhirnya!” teriaknya. “Kau lihat bukit besar itu? Ada sebuah gua di kaki bukit itu, dan banyak kapal telah masuk ke sana. Dan kau tahu? Tak ada orang yang bisa keluar dari sana dengan selamat.”
Para awak kapal mencoba menggerakkan kapal menjauh dari putaran air yang sangat cepat, tapi mereka tak dapat melakukan apapun.

DI DALAM GUA
Dalam sekejap kami melihat air masuk ke dalam gua besar itu, lebih cepat dan makin cepat, dan ini membawa kapal kami. Dan kemudian- crash!¬- kami di dalam gua dan kapal kami menabrak sisi batu. Segalanya menjadi gelap.
“Aku mati,” pikirku, “atau aku akan segera mati.”
Akan tetapi aku tidak mati. Aku tak dapat melihat apapun; segalanya segelap malam; tapi aku dapat mendengar air yang mengalir lebih deras. Ada sebuah angin besar. Dan aku bergerak- bergerak ke sesuatu yang keras, bukan di air.
Tak ada siang dan malam, tapi pesiarku melalui ruang bawah tanah yang gelap itu menghabiskan banyak waktuku. Pada akhirnya aku tertidur dan tak tahu apapun.

SERENDIP
Ada banyak keributan -tangisan dan teriakan. Aku membuka mataku. Aku tertelungkap, di sebuah kayu bagian dari kapal. Aku di tepi sungai besar, dan ada banyak orang yang melihatku. Keributan itu berasal dari mereka.
“Dimana aku?” tanyaku.
Tak ada yang tahu bahasa Arab, tapi mereka memanggil seseorang yang mengerti bahasaku, meskipun dia sekadar tahu.
“Kau di tanah Raja Agung Serendip,” katanya padaku. Aku bersyukur pada Allah, karena aku telah mendengar Raja Agung ini dan negerinya.
“Kami datang ke sini,” kata orang berbahasa Arab itu, “untuk memotong aliran air dari sungai ini ke ladang kami. Air ini keluar dari garis bukit itu. Tak ada seorang pun yang pernah sampai di puncak bukit dari sini. Dan tak ada seorang pun yang pernah datang dari sana. Bagaimana kau dapat sampai sini?”

MENGHADAP RAJA
Aku menceritakan kisah tentang pesiarku yang keenam, dan orang yang berbicara bahasa Arab menjelaskannya pada yang lain. Mata mereka membesar dan makin membesar. Ketika aku mengakhiri ceritaku, mereka semua terharu.
“Mereka berkata,” kata orang yang berbahasa Arab, “bahwa kau harus menceritakan kisah ini pada Raja. Kami akan membawamu ke sana.”
Mereka memberiku makanan dan minuman, dan kemudian mereka membawakan seekor kuda bagiku. Setelah menempuh perjalanan selama tiga hari, kami berada di kota milik raja.
Di aulanya yang besar, raja mendengarkan ceritaku. Mereka menyuruh para pelayan untuk memberiku sebuah ruang di dekat aula besar, pakaian yang terbaik, makanan dan barang-barang lain. Dia mengundangku tiap hari dan aku menceritakan padanya pesiarku yang keenam. Dia menanyakan banyak hal tentang Baghdad dan aku menjawab semampuku.

SEBUAH SURAT DARI RAJA
Suatu hari, aku mendengar sebuah kapal datang ke kota dalam pesiarnya ke Basra. Raja mengatakan bahwa aku dapat pergi dengan kapal itu, dan dia memberiku hadiah-hadiah mahal dari emas dan permata serta perhiasan-perhiasan yang lain.
“Tolong berikan sebuah surat dan beberapa hadiah dariku untuk Khalif Harun al-Rashid di Baghdad,” katanya.
Inilah pengantar surat itu:
Dari Raja Serendip, Raja India, Raja dari segala Raja, untuk temannya, Khalif Harun al-Rashid yang Agung.
Selain surat, aku juga membawa hadiah-hadiah dari emas dan perhiasan-perhiasan, dan benda-benda lain yang sangat indah dari hutan dan ladang milik Serendip yang tak pernah dapat dilihat di Baghdad.
Aku menjalani pesiar yang bagus menuju Basra dan aku membawa surat serta hadiah-hadiah itu kepada Khalif. Dia sangat baik kepadaku, dan dia mendengar ceritaku dan berbincang dengan baik denganku.

PESIAR KETUJUH
Aku tidak ingin melakukan pesiar yang lain lagi atau pergi kemana pun juga.
“Aku sudah tidak muda sekarang,” kataku pada teman-temanku. “Aku akan tinggal di rumah dan bahagia dengan rumah dan kebunku.”
Suatu hari aku tengah bersama dengan teman-temanku ketika Khalif Harun al-Rashid mengundangku.
Kata Khalif al-Rashid, “Aku ingin kau membawa surat jawaban dan hadiah-hadiah dariku untuk Raja Serendip.”
“Hamba mendengarkan, dan hamba akan pergi dengan segera,” kataku.
Para pelayan Khalif menemukan kapal yang terbaik bagiku dan kami pun siap berangkat. Kemudian, tak lama kemudian angin membawa kami ke timur, bersama dengan surat dan hadiah-hadiah mahal yang dapat siapapun temukan di Baghdad, Alexandria, Kairo, dan kota-kota di Barat.
Raja Serendip sangat bahagia saat berjumpa denganku, dan surat serta hadiah-hadiah dari Khalif sangat menyenangkan hatinya. Dia sangat baik kepadaku, dan aku memulai pesiarku ke rumah dengan banyak hadiah darinya dan dari para pembesar di negerinya.

BAJAK LAUT
Kami telah berlayar selama tiga hari ketika kami melihat para bajak laut mendatangi kami. Ada ratusan bajak laut dalam lima atau enam perahu, dan dengan segera mereka merampas kapal kami. Mereka berlayar bersama dengan kami ke sebuah pulau, dan di sana mereka menjual kami.
Aku dijual ke seorang pedagang, seseorang yang baik kepadaku.
“Dapatkah kau menembak?” tanyanya padaku.
“Ya.”
“Bagus. Karena ini adalah aturan di negeri ini: ketika kami membeli seseorang dari para bajak, dia harus dapat menembak gajah. Kami menjual gading gajah dan memberi sebagian hasilnya kepada para bajak laut. Aku akan membawamu ke hutan malam ini dan kau dapat memulai perburuanmu.”

MENEMBAK GAJAH
Di dalam hutan, dia menyuruhku naik ke sebuah pohon.
“Tunggu di sana sampai ada gajah yang mendekat, lalu tembak dia. Aku akan datang keesokan harinya dan membawamu serta gading gajah itu ke kota.”
Aku menunggu sangat lama, tapi pada akhirnya seekor gajah mendekati pohonku, dan aku menembaknya. Pedagang itu datang keesokan harinya, dan dia sangat senang melihatku bersama dengan gajah yang mati.
“Aku senang kau dapat menembak dengan baik,” katanya. “Jika gajah yang kautembak tidak mati, dia akan membunuhmu. Ingat itu.”
Siang itu, aku bertemu dua orang yang dibawa bajak laut dari kapal lain. Pekerjaan mereka sama sepertiku, menembak gajah.
“Kita tidak akan bisa hidup lama,” katanya padaku. “Bahkan jika kita selalu membunuh gajah-gajah itu, itu pun tak akan dapat menyelamatkan kita. Gajah dapat berpikir, dan teman-teman dari gajah yang kita bunuh akan membalas dendam pada kita.”
Aku memikirkan kata-kata mereka. “Aku tak boleh naik ke pohon yang sama dua kali,” kataku pada diri sendiri. “Aku tak boleh menembak ketika ada lebih dari satu gajah di dekatku. Dan aku harus langsung bisa membunuhnya saat aku menembaknya.”
Setelah sekian lama aku menembak gajah pada malam hari, aku selalu membunuhnya. Pedagang itu sangat senang.
“Kau orang terbaik yang pernah aku miliki,” katanya. “Mulai hari ini kau akan memiliki satu gading setiap kau dapat memberi sepuluh gading untukku. Saat kau telah memiliki seratus gading, kau dapat pulang ke negerimu dengan gading-gading itu.”
Aku hampir mendapat seratus gading ketika pada akhirnya seekor gajah dapat melarikan diri setelah kutembak. Pada malam berikutnya hutan sangat ribut. Ada ratusan gajah mencariku.

TEMPAT GAJAH-GAJAH MATI
Tak lama kemudian, semua gajah telah mengelilingi pohonku. Aku naik ke puncak pohon. Gajah-gajah mendekat padaku. Aku tidak mencoba untuk menembak dan itu menyelamatkanku. Mereka berdiri mengelilingi pohon dan tak melakukan apapun. Kemudian, mereka meletakkanku di punggung gajah yang terbesar dan berjalan, satu di samping yang lain, melewati lembah demi lembah.
Pada akhirnya kami tiba di sebuah lembah kecil yang tersembunyi di bukit, dan di sana mereka berhenti. Aku melihat sekeliling lembah itu.
Aku pernah mendengar cerita tentang sebuah tempat dimana semua gajah mati, tapi aku tak mempercayainya. Aku mempercayainya sekarang. Ratusan, bahkan ribuan gajah mati ada di sini!
Gajah-gajah kemudian berdiri di sekelilingku dan memperhatikanku. Tak ada satu pun dari mereka yang menyentuhku; mereka hanya melihatku. Aku mulai mengerti bahwa mereka memberitahuku sesuatu dengan mata mereka.
“Jika mereka dapat berbicara,” pikirku, “mereka akan berkata: “Mengapa kau menembak kami untuk gading kami? Lihat ini! Lihat semua gading itu! Kami tidak menginginkan itu. Bawa gading-gading itu, dan katakan pada orang-orang kota untuk berhenti menembak kami.”
Aku mencoba menunjukkan pada gajah-gajah itu bahwa aku tahu apa yang mereka katakan. Setelah itu, mereka membantuku menemukan jalan kembali ke kota.

PULANG UNTUK TERAKHIR KALINYA
Aku membawa orang yang membeliku ke tempat gajah-gajah mati. Dia melihat, memperhatikan, dan katanya:
“Ada banyak sekali gading di sini sebanyak yang dapat dijual para pedagang selama seratus tahun!”
Mereka berhenti menembak gajah. Mereka memenuhi sebuah kapal untukku dengan gading yang akan dijual di Basra dan Baghdad. Dan aku berlayar ke rumah. Kejadian itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Itu pesiar terakhirku. Allah sungguh baik kepadaku!

TENTANG KISAH-KISAH SINDBAD

BERAPA USIA KISAH SINDBAD SANG PELAUT?
Kisah-kisah Sindbad berasal dari Seribu Satu Malam, dalam bahasa Arab, Alf Leila wa Leila.
Kalian tahu tentang kisah seribu satu malam. Raja Agung Shahriar mengetahui bahwa istrinya sering menemui lelaki lain di kebun. Dia menyuruh bawahannya untuk membunuhnya dan dia menetapkan suatu aturan baru.
“Setelah ini,” katanya, “Aku akan menikahi seorang wanita muda setiap hari, dan di hari berikutnya orang-orangku akan membunuhnya. Dengan begitu aku akan mengetahui bahwa dia tak akan pernah mencintai lelaki lain.”
Keadaan itu berlangsung lama: raja menikah setiap hari, dan setiap pagi seorang wanita muda mati. Kemudian Sheherazade yang cantik menjadi istri raja untuk semalam. Pada pagi hari, dia menceritakan sebuah kisah kepada Raja. Raja sadar dan ingin mendengar akhir dari cerita itu. Dia menghentikan orang-orang yang berusaha untuk membunuhnya. Sheherazade menceritakan kisah yang lain di pagi hari berikutnya, dan lagi-lagi raja ingin mendengar akhir kisah itu. Kejadian ini terjadi setiap malam, selama seribu satu malam, dan akhirnya raja mengubah aturannya. Dia menjadikan Sheherazade ratunya untuk selamanya, dan tak ada wanita muda lain yang mati karena aturan raja yang sangat buruk.
Dalam kisah Seribu Satu Malam, kisah Sindbad diceritakan dalam 25 dari 1001 malam. Buku pertama dari Seribu Satu Malam dalam Bahasa Arab ditulis lebih dari ribuan tahun yang lalu (sekitar tahun 940 atau 330 Hijriyah). Kami menduga bahwa kisah Sindbad ditambahkan setelah waktu itu. Akan tetapi sudah sejak ribuan tahun yang lalu orang-orang Arab senang mendengar cerita tentang pesiar.

PELAUT YANG SEBENARNYA
Pelaut Arab tidak pernah pergi ke tempat yang jauh. Meskipun begitu, 1200 tahun yang lalu ada banyak pedagang Arab di Canton dan kota lain di Cina. Kita tahu hal ini dari para penulis Cina yang memiliki kemampuan sehebat penulis-penulis buku Arab. Kita mengenal banyak tentang petualangan dan pesiar yang dilakukan orang yang sesungguhnya seperti Suleiman al-Tajir (Suleiman Sang Pedagang). Suleiman adalah orang dari Siraf di Gulf, dan buku tentangnya telah ditulis pada tahun 851. Dia menceritakan kepada orang-orang di Arab tentang Cina, India, dan Asia Tenggara. (Orang-orang Eropa mempelajari tentang mereka baru setelah perjalanan Marco Polo antara tahun 1271 dan 1295).

APA YANG DIKETAHUI ORANG-ORANG ARAB?
Orang-orang Arab ribuan tahun yang lalu tahu banyak tentang dunia- lebih daripada orang-orang Eropa pada waktu itu. Orang-orang Eropa menghilangkan buku dan peta Ptolemy (dibuat sekitar 1800 tahun yang lalu), tapi orang-orang Arab tidak. Mereka membaca hasil pekerjaan Ptolemy, dan mereka menambahkan banyak hal yang mereka ketahui.
Para pelaut Arab mengenal musim, angin yang berhembus dari barat daya antara bulan April hingga Oktober, dan dari timur laut antara Oktober hingga April. Maka dari itu, mereka memulai perjalanan ke timur pada bulan April atau Mei, dan mereka memulai perjalanan pulang dari timur pada bulan Oktober atau November.

DAN SEKARANG…
Pada tanggal 6 Juli 1981, kapal Arab yang terdapat dalam halaman 56 berlayar ke Canton di Cina. Nama kapal itu Sohar, dan dia berlayar ke Cina dari Muscat di Oman. Kapten kapal itu Tim Severin. Orang-orang yang berlayar dengannya adalah para pelaut Arab dan para ilmuwan dari negeri-negeri lain.
Tim Severin adalah orang yang menemukan jawaban untuk berbagai pertanyaan dengan cara ini.
Pertanyaan pertama : “Benarkah Santo Brendan berlayar dari Irlandia ke Amerika dengan perahu terbuka seribu tahun sebelum Columbus?” Tim Severin membuat sebuah perahu yang mirip dengan perahu Santo Brendan pada waktu itu, dan dia berlayar dari Irlandia menuju Amerika Utara. Jawabannya “Ya”
“Benarkah kapal Arab telah berlayar ke China ribuan tahun yang lalu?”
Tim Severin ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan itu juga. “Aku harus membuat sebuah dhow Arab,” pikirnya, “dan aku harus berlayar dari Gulf menuju Cina.”
Dia menanyakan banyak pertanyaan dan membaca buku-buku tua tentang dhow. Saat ini ada dhow, dan mereka nampak sama dengan kapal Arab milik Suleiman al-Tajir pada waktu itu. Akan tetapi mereka tidak sepenuhnya sama. Sebagian besar dhow saat ini memiliki mesin diesel, dan bagian kapal yang berupa kayu dan bagian-bagian lain telah dipekuat dengan besi.
“Kita harus memiliki sebuah kapal yang sama dengan kapal-kapal Sindbad pada waktu itu,” pikir Severin. Dan dia mengatakan hal ini pada banyak orang.
Kapal-kapal Arab ribuan tahun yang lalu tidak diperkuat dengan besi. Bagian-bagian kayu diperkuat dengan tali yang kuat. Sangat banyak kapal yang dibuat dengan cara seperti itu saat ini.
“Akan tetapi kita harus memiliki sebuah kapal yang diperkuat dengan tali, dengan cara lama,” kata Tim Severin. “Kapal ini tidak boleh memiliki mesin. Dan kita harus menemukan jalan untuk mengarungi laut dengan cara lama yang dilakukan orang-orang Arab.” Pembuat kapal yang besar dari Arab di masa lalu adalah orang-orang dari Oman. Sultan Qaboos dari Oman dan para pekerjanya mendengarkan Tim Severin.
“Kami akan membantumu,” kata mereka. Dan mereka membantu di setiap jalan.
Orang-orang dari Pulau Laccadive masih memperkuat kapal mereka dengan tali dari pohon kelapa. Severin membawa beberapa tali itu ke Oman untuk membantu para pembuat kapal Oman. Dia bertanya pada kapten kapal tua Oman –orang yang nampak berumur 72 tahun, Salah Khamis, yang terdapat pada halaman 57- bagaimana dhow milik orang-orang Oman menemukan jalan mereka dari satu tempat ke tempat lain dalam mengarungi laut.
Pada November 1980, Sohar siap berlayar. Sohar kapal yang bagus dan sangat kuat. Orang-orangnya menemukan bahwa dengan angin yang bagus mereka dapat berlayar sejauh 300 km dalam 24 jam. Akan tetapi ini butuh kerja keras.
Mereka mengalami angin besar, seperti angin pada perjalanan Sindbad yang keempat. Dan pernah pula suatu ketika, di antara Sri Lanka dan Sumatra, ketika tak ada angin sama sekali. Kapal itu diam, hari demi hari, di bawah terik matahari. Dengan segera mereka hanya memiliki sangat sedikit makanan dan minuman. Akan tetapi angin datang lagi, hujan turun dan mereka memanfaatkan airnya untuk diminum.
Mereka tidak melihat roc, ular yang luar biasa besar, dan bajak laut (orang-orang Sohar memiliki senapan karena masih ada bajak laut di Laut Cina Selatan). Akan tetapi, mereka menunjukkan bahwa kapal Arab dapat melakukan perjalanan seperti pada kisah-kisah Sindbad.



SUMBER:

No comments:

Post a Comment