Sunday, February 23, 2014

CERITA

PERJALANANAN KE BARAT

Wu Ch’eng-en (th. 1500 – 1582), kelahiran Shan-yang, Huai-an (sekarang propinsi Kiangsu, Tiongkok) adalah seorang penulis novel dan puisi terkenal pada dinasti Ming (1368-1644) menuliskan suatu kisah perjalanan berdasarkan cerita perjalanan Hsuan-tsang / Tang Zhang dari bukunya Ta-
T’ang Hsi-yu-chi (Catatan Perjalanan Ke Barat semasa Dinasti T’ang Agung), yang kemudian menjadi terkenal dengan legenda Kera Sakti Sun Wu-khung (Sun Go-kong atau Sun Hou-zi) dengan judul Hsi-yu-chi (Catatan Perjalanan Ke Barat).  
Hsi-yu-chi diterbitkan pertama kali pada tahun 1592, 10 tahun setelah kematian Wu Ch’eng-en.
Cerita legenda Catatan Perjalanan Ke Barat tersebut terdiri dari 100 bab yang dapat dibagi atas tiga bagian utama : 

Bagian pertama dari tujuh bab menceritakan kelahiran Sun Go-kong dari sebutir telur batu dan memiliki kekuatan maha sakti yang tiada tandingannya sehingga mengacaukan kahyangan yang kemudian diturunkan dari kahyangan dan dikurung oleh Buddha Sakyamuni di dalam Wu-hsing-shan (Gunung Lima Unsur Alam) sambil menunggu pembebasannya oleh seorang bhikshu yang akan melakukan perjalanan ke Barat mengambil kitab suci.

 Bagian kedua berisi lima bab yang berkaitan dengan sejarah Hsuan-tsang dan tugas utamanya dalam melakukan perjalanan ke Barat.
Sedangkan bagian ketiga yang berisi 88 bab sisanya menceritakan keseluruhan perjalanan Hsuan-tsang/Tang Zhang dengan ketiga muridnya..
Legenda ini mencerminkan kehidupan manusia pada umumnya. Hal ini dapat ditemukan pada karakteristik para tokohnya.

1.Sun Go Kong mewakili manusia dengan keegoisan, kebencian, mudah marah, kesombongan, dan pikiran yang liar.

2. Chu Pa Chie (Cu Pat Kai) mewakili manusia dengan berbagai keinginan dan keserakahan duniawi, seperti rakus akan makanan, genit suka menggoda wanita cantik (gila wanita), menginginkan kedudukan tinggi dan gila harta benda.

3.Sha Ho Shang (Wu Ching) mewakili manusia dengan karakter lemah yang membutuhkan dukungan dari orang lain, lamban dalam berpikir, sulit menghapal sesuatu (sutra Kitab Suci), dan kebodohan batin.
Jadi mereka bertiga melambangkan Lobha, Dosa, dan Moha ( Keserakahan, Kebencian dan Kegelapan / Kebodohan Bathin )

4. Sedangkan Bhiksu suci Hsuan Tsang / Tang Zhang mewakili manusia yang telah terbebas dari penderitaan dan tercerahkan, memiliki keteguhan hati di dalam ajaran Buddha, Teguh dalam memegang sila, dan setia didalam Jalan Tengah dan berjuang keras demi kebahagiaan makhluk lain.
5. Kuda Putih tunggangan Bhiksu mewakili ajaran.
Cerita legenda kera sakti adalah dongeng mengenai perilaku manusia yang mengandung filsafat tingkat tinggi serta nasehat dan pengajaran supaya mudah dimengerti dan dipahami. Yang ini merupakan kisah nyata bhiksu tersebut yang memotivasi kita bahwa semua kesuksesan membutuhkan PERJUANGAN.
Perjuangan Biksu Kecil, Tang Zhang
Ini adalah kisah tentang seorang biksu kecil yang sejati. Pada zaman dinasti Tang, di sebuah kuil hiduplah seorang biksu kecil. Sejak kecil ia sudah menjadi biksu di kuil itu. Setiap pagi, begitu bangun tidur biksu kecil ini harus segera mulai menimba air menyapu halaman.
Seusai pelajaran pagi, dia masih harus pergi ke kota yang terletak di bawah bukit belakang kuil untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari untuk kuil itu. Setelah membeli barang yang dibutuhkan, dan tanpa adanya waktu luang dia masih harus mengerjakan sejumlah pekerjaan. Kemudian ia masih membaca kitab suci hingga larut malam.
Demikianlah kegiatannya setiap hari, setiap pagi dan senja mendengar suara gendang dan lonceng pagi di kuil hingga 10 tahun berlalu sudah. Suatu ketika, akhirnya biksu kecil mendapat sedikit waktu luang. Kemudian ia segera berbincang-bincang bersama dengan biksu kecil lainnya. Akhirnya dia mendapati bahwa semua orang ternyata hidupnya begitu santai.
Hanya dia seorang yang selalu sibuk setiap hari. Tugas membaca dan pekerjaan dari kepala biara kepadanya selalu yang paling berat. Dia tidak habis mengerti lalu bertanya pada kepala biara. Mengapa semua orang hidupnya lebih santai daripada saya? Mengapa tidak ada orang yang menyuruh mereka membaca kitab suci atau bekerja? Sedangkan saya harus bekerja tiada henti? Kepala biara hanya menundukkan kepala komat kamit memberi tanda Buddha dan tersenyum tidak menjawab.
Pada siang hari, biksu kecil ini pergi ke kota yang terletak di bawah bukit belakang membeli sekantong beras. Dalam perjalanan pulang sambil memanggul beras tiba di pintu belakang kuil, dan tampak di sana kepala biara sedang menunggunya. Kepala biara membawanya ke pintu depan kuil. Kemudian kepala biara duduk istirahat memejamkan mata. Biksu kecil tidak mengerti maksud kepala biara, akhirnya dia berdiri menunggu di samping.
Biksu kecil terus menunggu dan menunggu. Mentari sudah hampir terbenam, tiba-tiba di depan jalan muncul beberapa bayangan biksu kecil. Beberapa biksu kecil ini termenung sesaat melihat kepala biara. Kepala biara membuka matanya dan bertanya pada mereka. Pagi-pagi saya meminta kalian pergi membeli garam. Jalan di depan ini begitu dekat dan rata. Kenapa kalian baru kembali sekarang? Biksu-biksu kecil ini saling berpandangan, kemudian menjawab, “Kepala biara, dalam perjalanan kami tertawa bercanda dan menikmati pemandangan, akhirnya sekarang baru sampai. Lagi pula selama 10 tahun ini memang begitu, kan!”
Lalu kepala biara bertanya pada biksu kecil yg berdiri di samping, “kamu ke kota yang terletak di bawah bukit belakang membeli beras, jalannya berliku-liku dan jauh, harus menapaki bukit dan lembah, bahkan harus membawa beras yang berat. Kenapa waktu kamu kembali lebih awal daripada mereka?
Biksu kecil menjawab, “setiap hari dalam perjalanan saya selalu ingin cepat pergi cepat kembali. Lagipula saya berjalan harus sangat hati-hati karena memanggul barang yang berat di atas pundak, dan lama kelamaan jalannya semakin mantap dan cepat. Selama 10 tahun ini saya sudah terbiasa, dalam hati hanya ada satu tujuan tiada lagi jalanan.”
Setelah mendengarnya kepala biara lalu berkata pada semua biksu kecil. “Jalanan sudah rata. Tetapi hati tidak terpusat pada tujuan. Hanya dengan berjalan di atas jalanan yang berliku, baru bisa menempa tekad seseorang.”
Biksu kecil inilah akhirnya menjadi “xuan zhuang fa shi” (bhiksu agung dalam Budhisme). Oleh karena tempaan sejak kecil sehingga dalam perjalanannya ke barat yang serba sulit dan bahaya untuk mengambil kitab suci itu, membuat hatinya bisa selalu bersinar menuntut cahaya Dharma ( Kebenaran Universal ). Jadi, jalan yang berliku dan sulit, bukanlah halangan untuk mencapai tujuan. Sebuah tekad dan kemauan, baru merupakan kunci sukses atau gagal.


No comments:

Post a Comment